Sejarah Kelam dan Cerita Pahit Dibalik Hari Buruh 1 Mei

Jakarta, CNBC Indonesia – Tanggal 1 Mei 2023 diperingati Hari Buruh Internasional atau yang disebut May Day. Peringatan Hari Buruh juga ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Hari ini diperingati di seluruh dunia untuk menghormati perjuangan pekerja dalam mendapatkan hak-hak yang adil dan perlindungan kerja yang layak. Ada sejarah panjang mengenai hari buruh.

Sebelum abad ke-19, istilah May Day merujuk pada perayaan pergantian musim, ke musim semi (spring) di Amerika Serikat.

May Day juga dikenal sebagai Hari Pekerja Internasional untuk merayakan hak-hak buruh dan delapan jam kerja sehari di Amerika Serikat.

Pada waktu itu, kondisi kerja di Amerika Serikat sangat buruk, terutama di sektor industri. Pekerja diharuskan bekerja 16 jam per hari dengan upah yang sangat rendah.

Pada pekerja ini juga bekerja tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai.

Pada tahun 1886, sebuah gerakan pekerja mulai berkembang di Amerika Serikat yang memperjuangkan hak-hak pekerja.

Gerakan ini berusaha memperjuangkan jam kerja delapan jam per hari. Pada 1 Mei 1886, ribuan pekerja di seluruh Amerika Serikat melakukan mogok kerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Pada saat itu, ada tiga organisasi pekerja yang mengorganisir protes: Knights of Labor, Federation of Organized Trades and Labor Unions, dan International Workingmen’s Association yang juga dikenal sebagai First International.

Dalam beberapa hari, demonstrasi dan mogok kerja menyebar ke seluruh Amerika Serikat, termasuk kota-kota besar seperti Chicago, New York, dan Boston.

Pada tanggal 3 Mei 1886 bentrokan antara polisi dan demonstran meletus di Chicago. Kejadian ini kemudian dikenal sebagai Tragedi Haymarket.

Empat orang demonstran dan tujuh polisi tewas dalam bentrokan tersebut. Pasca insiden ini, banyak pekerja dan aktivis hak-hak pekerja yang ditangkap dan dipenjara.

Sejarah Hari Buruh berlanjut pada tahun 1889, sebuah konferensi internasional di Paris diadakan untuk memperingati perjuangan para pekerja dan untuk memperjuangkan hak-hak pekerja.

Konferensi tersebut menyerukan peringatan internasional setiap tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.

Sejarah May Day sebagai hari buruh ini lahir dari sebuah federasi internasional, sebuah kelompok sosialis dan serikat buruh menetapkan yang 1 Mei sebagai hari untuk mendukung para pekerja, dalam rangka memperingati Kerusuhan Haymarket di Chicago pada tahun 1886.

Pada abad ke-20, hari libur 1 Mei tersebut mendapat pengesahan resmi dari Uni Soviet, dan juga dirayakan sebagai Hari Solidaritas Buruh Internasional, terutama di beberapa negara Komunis.

Namun begitu, Amerika Serikat tidak merayakan Hari Buruh pada 1 Mei, tapi pada hari Senin pertama bulan September (1 Mei adalah Hari Loyalitas, hari libur resmi tetapi tidak diakui secara luas di Amerika Serikat).

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa alasannya adalah untuk menghindari peringatan kerusuhan yang terjadi pada tahun 1886, demikian dikutip Office Holidays.

Sejak saat itu, Hari Buruh Internasional diperingati di seluruh dunia sebagai hari perjuangan para pekerja untuk mendapatkan hak-hak yang adil dan layak di tempat kerja.

Selain itu, Hari Buruh Internasional juga menjadi simbol perjuangan untuk kemerdekaan, demokrasi, dan persamaan di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, Hari Buruh Internasional dirayakan pertama kali pada tanggal 1 Mei 1920, di mana serikat-serikat buruh dan pekerja melakukan aksi demonstrasi dan mogok kerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Sejarah Hari Buruh di Indonesia bermula saat negara ini masih berada di bawah kekuasaan Belanda, dan kondisi kerja para pekerja di sektor perkebunan dan industri sangatlah buruk.

Selama dijajah oleh Belanda, para pekerja dan serikat buruh sering mengalami eksploitasi dan penindasan oleh majikan Belanda.

Kondisi kerja yang tidak sangat manusiawi, upah rendah, dan tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, membuat para pekerja dan serikat buruh merasa perlu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Peringatan hari buruh sempat berhenti diperingati secara terbuka saat kepemimpinan Presiden Soeharto karena dinilai identik dengan paham komunis.

Letupan protes dari kaum buruh masih ada selama Orde Baru, namun tidak masif. Protesnya yang digaungkan seputar upah layak, cuti haid, dan upah lembur.

Kemudian pada masa reformasi, hari buruh kembali rutin dirayakan di banyak kota, dan mengusung berbagai tuntutan mulai dari kesejahteraan hingga penghapusan sistem alih daya. BJ Habibie sebagai presiden pertama di reformasi melakukan ratifikasi konvensi ILO Nomor 81 tentang kebebasan berserikat buruh.

Pada 1 Mei 2013, terjadi peristiwa sejarah hari buruh yang penting di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional.

Dari tahun ke tahun, 1 Mei selalu menjadi ajang buruh untuk menuntut hak-haknya, mulai dari upah yang pembayarannya tertunda, jam kerja dan upah yang layak, hak cuti hamil, hak cuti haid, hingga Tunjangan Hari Raya (THR) yang bisa kita nikmati hingga saat ini.


CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com

(saw/saw)

Berikut Beberapa Nama yang Mulai Muncul sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati Sukoharjo

Sukoharjo, Jawa Tengah – Sekitar 8 bulan lagi berbagai daerah akan melaksanakan Pilkada untuk memilih pemimpin barunya, termasuk Kabupaten Sukoharjo yang akan memilih Calon Bupati dan Wakil Bupati pada november 2024 nanti.

Usai Pilpres dan Pileg pada Februari 2024 lalu, masyarakat Sukoharjo sudah mulai bersiap untuk memilih pemimpin baru mereka.

Dalam pantauan dan berbagai isu yang muncul di tengah masyarakat, terdapat berbagai nama-nama yang sudah tidak asing lagi di panggung politik kabupaten sukoharjo, termasuk salah satunya adalah Bupati yang saat ini masih menjabat “Hj.Etik Suryani, SE,MM.” ,juga sudah menyatakan kesiapannya untuk maju kembali .

Menariknya, diberbagai perbincangan publik dan beberapa survey yang dilakukan oleh masyarakat, mulai muncul nama-nama baru yang dianggap berpotensi untuk maju sebagai Cabub/ Cawabup di Kabupaten Sukoharjo. Berikut nama-nama calon potensial pada pilkada kabupaten sukoharjo di 2024 nanti :

  • Hj.Etik Suryani, SE,MM. ( Bupati Incumbent / Politisi PDIP )
  • Titik Suprapti ( Politisi Partai GERINDRA )
  • H.Sardjono, SM,SE. ( Politisi Partai GOLKAR )
  • Syarif Hidayatulloh ( Politisi PKB )
  • Tuntas Subagyo ( Tokoh Masyarakat )
  • Eko Supriyanto ( Politisi Partai BURUH )
  • Septiaji Tri Hananto ( Politisi PBB )
  • Moch Trian Falevi A. ( Politisi PERINDO )
  • Umar Yuwono, A.Md. ( Politisi Partai GELORA )
  • Albert Sarjono ( Politisi Partai PRIMA )
  • Fahmi Hakam, S.KM.,M.P.H. ( Politisi Partai GELORA )
  • Nuril Huda ( Tokoh Masyarakat )
  • Siti Syafir ( Politisi Partai GARUDA )
  • Saifulloh, S.E. ( Politisi Partai UMMAT )
  • Drs. H. Agus Santosa ( Wakil Bupati Incumbent / Politisi PDIP )

sumber : Garuda Media

Proses Rekap Di Kecamatan Perlu Dilanjutkan

SIARAN PERS PARTAI BURUH

PROSES REKAP DI KECAMATAN PERLU DILANJUTKAN

Dihentikannya proses rekapitulasi penghitungan perolehan suara tingkat kecamatan terhitung mulai hari ini (18/2) sampai dengan dua hari kedepan (20/2) oleh KPU perlu ditinjau ulang.

Sejak tadi pagi kami terus menerima laporan dari banyak pengurus daerah yang menyampaikan bahwa proses rekap di kecamatan di stop oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) berdasarkan instruksi KPU RI dengan alasan sistem Sirekap eror.

Terus terang ini membuat kami bingung. Kenapa munculnya permasalahan pada Sirekap menyebabkan proses rekapitulasi harus ditunda? Padahal, Sirekap dan proses rekap merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak boleh saling mempengaruhi satu sama lain.

Sirekap hanyalah instrumen untuk memenuhi asas keterbukaan informasi publik atas hasil pemilu sebagai bagian dari data publik yang berhak diketahui oleh masyarakat. Data Sirekap bukanlah data resmi hasil pemilu. Hal ini jelas disebutkan dalam peraturan KPU.

Jadi kalau muncul masalah pada Sirekap, itu semata masalah teknis yang sama sekali tidak akan mempengaruhi keabsahan hasil pemilu. Sebab, hasil resmi pemilu justru diperoleh dari proses rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang dimulai dari tingkat kecamatan oleh PPK. Begitu pengaturannya menurut Undang-Undang Pemilu.

Oleh sebab itu, terkait munculnya masalah teknis pada Sirekap, menurut saya KPU cukup memperbaiki sistem pengolahan data formulir model C.HASIL dari tiap TPS ke dalam sistem Sirekap. Tidak perlu permasalahan Sirekap dikaitkan dengan proses rekapitulasi penghitungan suara di kecamatan yang menurut saya perlu tetap diteruskan. Jangan distop.

Kesimpulannya, proses rekap tidak boleh dipengaruhi dan sama sekali tidak boleh didasari dari data di Sirekap, dan permasalahan yang muncul pada Sirekap tidak boleh mengganggu berjalannya proses rekapitulasi di tingkat kecamatan.

Agara permasalahan Sirekap tidak terus menjadi ganjalan, menurut saya KPU bisa mengatasinya dengan cara memerintahkan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk menempelkan formulir model C.HASIL SALINAN di tiap desa/kelurahan agar masyarakat tetap bisa melihat hasil pemilu. Dengan cara ini, asas transparansi yang tidak bisa dipenuhi oleh Sirekap bisa dipenuhi oleh PPS.

Permasalahnnya, hampir semua PPS tidak mau menempelkan formulir model C.HASIL SALINAN. Padahal, mengumumkan lembaran hasil pemilu oleh PPS adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan menurut ketentuan Pasal 391 UU Pemilu. Kalau formulir model C.HASIL SALINAN tidak ditempel, maka Pasal 508 UU Pemilu mengancam PPS dengan ancaman pidana kurungan selama 1 (satu) tahun ditambah denda sebesar 12 juta rupiah.

SAID SALAHUDIN
Ahli Pemilu/
Ketua Tim Khusus Pemenangan
Partai Buruh

Saksi Bayaran Dari Masyarakat

Selama puluhan kali Pemilu saya ikut mengawal proses pemungutan dan penghitungan suara (pungut-hitung) melalui jalur Pemantau Pemilu. Tiga kali Pileg (2004 – 2014), tiga kali Pilpres (2004 – 2014), satu kali Pemilu serentak (2019), dan puluhan kali Pilkada di berbagai daerah di Indonesia (2005 – 2018).

Dimulai dengan menjadi relawan Komite Independen Pemantau Pemilu atau KIPP (2004), lalu memimpin pemantauan Pemilu melalui lembaga Lingkar Madani untuk Indonesia atau LIMA (2006 – 2009) yang saya dirikan bersama Ray Rangkuti, dan lembaga Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia atau SIGMA (2009 – 2021) yang saya dirikan bersama Christofel Nalenan (ex-direktur JPPR) dan Hendra Setiawan (ex-produser Radio Elshinta).

Pada Pemilu 1999, spirit Reformasi masih sangat terasa. partai-partai politik cenderung masih idealis. Untuk mengamankan suara, mereka menempatkan Saksi-Saksi di TPS dengan mengedepankan semangat voluntarisme atau kesukarelawan. Setiap anggota partai, termasuk para simpatisan mempunyai kesadaran untuk ikut ambil bagian menjadi Saksi di TPS, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Mereka meyakini, jika partai politiknya menang, maka kehidupan mereka akan lebih baik.

Sampailah kemudian mulai terjadi suatu perubahan mindset tentang Saksi pada saat digelar Pilpres pertama di tahun 2004. Kala itu para capres mulai merasa kesulitan menempatkan Saksi di TPS karena tidak semua anggota dan simpatisan partai mendukung capres-cawapres yang diusung oleh partai politik yang mereka dukung. Tidak berjalannya kaderisasi di internal partai membuat antusiasme dan militansi anggota parpol untuk menjadi Saksi di TPS pun kian menurun.

Kondisi tersebut semakin terasa di Pemilu 2009 ketika para pengusaha dan artis mulai banyak yang memilih terjun ke dunia politik dengan maju sebagai caleg. Orang-orang berduit yang tidak mengakar di masyarakat itu mulai mengedepankan uang sebagai alat transaksi dengan masyarakat untuk menjadi Saksi di TPS.

Spirit voluntarisme atau kesukarelawanan pun akhirnya bergeser menjadi semangat pragmatisme. Ada uang, Saksi datang. Tidak ada uang, Saksi menghilang.

Pada Pemilu 2014 dan terlebih lagi di Pemilu 2019, politik uang (money politics) kian merajalela. Kesulitan capres dan caleg untuk menempatkan Saksi di TPS direspons oleh para taipan dengan menggelontorkan duit dalam jumlah besar ke hampir semua parpol dan capres-cawapres.

Para konglomerat itu tahu betul kesulitan yang dialami parpol dan para paslon Pilpres untuk menunjuk Saksi. Disinilah terjadi sebuah persekongkolan jahat antara para politisi dengan para pemilik modal. Suatu persekutuan yang pada gilirannya berujung pada politik balas jasa yang merusak sistem demokrasi. Setelah para politisi itu terpilih, maka sistem politik dan kebijakan negara akan berada dibawah kendali para pengusaha.

Lalu, bagaimana para Saksi bayaran itu bekerja? Dari 20 tahun pengalaman saya memantau Pemilu, saya menemukan fakta bahwa Saksi-Saksi yang bukan berasal dari anggota partai itu sesungguhnya lebih berorientasi pada berapa banyak uang yang bisa masuk ke kantong mereka.

Tak jarang, walau pun sudah menerima imbalan dari partai dan para caleg, para Saksi bayaran tersebut justru memanfaatkan Surat Mandat yang mereka terima untuk mencari lebih banyak uang dengan melakukan pengkhianatan.

Bagaimana modusnya? Mereka gunakan Surat Mandat atau kekuasaannya sebagai Saksi resmi, untuk mengalihkan suara partai dan caleg yang mereka wakili kepada partai dan caleg yang lain. Apa buktinya? Pada suatu TPS partai politik bahkan tidak memperoleh suara sama sekali alias 0 suara, padahal mereka punya Saksi di TPS tersebut.

Praktik diatas bisa terjadi antara lain disebabkan karena para Saksi bayaran itu tidak mempunyai hubungan emosional dengan partai politik yang diwakilinya. Mereka tidak mempunyai sense of belonging, tidak punya rasa memiliki, tidak muncul tanggung jawab moril dari dalam dirinya untuk sungguh-sungguh mengamankan suara partai dan caleg yang telah membayar mereka.

SAID SALAHUDIN

Merebut Perubahan

Photo by Alexas Fotos on Pexels.com

Setelah revolusi industri memaklumatkan “dunia satu dimensi” ala Marcuse melalui mesin, listrik, komputer dan belakangan internet, praktis dunia tiruan dan hiperealitas ala Baudrillard terus melakukan rekonstruksi, meniru, bahkan meniru dalam tiruan, membentuk dunia imajiner yang sungguh-sungguh kita anggap nyata, mulai dari fesyen, kuliner, hiburan dan bahkan politik. Secara gampang, kita menganggap dunia maya (hiperealitas) itu benar-benar nyata (real).

Milenial, generasi Z dan Alfa yang native internet, karib dengan telepon genggam, tak lepas-lepas suai jemala dan sekian ragam purwarupa di tengah big bang informasi, ledakan dahsyat media sosial dan supernova internet segala hal (IoT) kini mengikuti aliran mistik baru bernama Manunggaling Kaula Wi-Fi, bahkan sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan sudah berganti slogan menjadi Tut Wi-Fi Handayani, terutama setelah badai korona menghantam dunia.

Apa yang terjadi? Mengapa dunia tiruan mengalahkan dan memang kita anggap dunia nyata? Mengapa memiliki banyak follower dan subscriber yang sebenarnya hiperealitas lebih diidam-idamkan dan kita anggap realitas? Inilah kerja-kerja riset, etos penelitian, kecimpung observasi.

Sementara itu, beberapa dekade sebelum supernova televisi dan internet, lazim kita tahu bahwa perubahan dan peradanan dunia dimulai dari teks, dari karya para leluhur, para ilmuwan. Tak tanggung-tanggung, Tuhan dan iman sekalipun hadir dan memperkenalkan diri kepada umat manusia sebagai teks.

Salah satu bukti bahwa satu karya (baik fiksi maupun ilmiah) sangat berdampak luar biasa bagi perubahan sosial adalah novel Uncle Tom’s Cabin atau Gubuk Paman Tom karya Harrit B. Stowe yang terbit di Amerika dan Eropa pada tahun 1852. Buku inilah yang dianggap memantik pecahnya Perang Dunia II, ya, perang dunia terjadi gara-gara buku, gara-gara teks!

Diceritakan awalnya Paman Tom, seorang budak kulit hitam dari Lousiana yang dimiliki oleh keluarga Arthur Selby di Negara bagian Kentucky yang lalu dijual kepada Augustine St. Claire dan akhirnya dilego kepada Simon Legree. Keluarga inilah yang memperlakukan Tom dengan keji dan kejam, hingga berujung pada kematian yang mengenaskan.

Uncle Tom’s Cabin ditulis dengan gaya sentimental dan melodramatik khas abad 19, tentu saja mengaduk-aduk emosi pembaca. Segera setelah diterbitkan, novel ini menyebabkan kegemparan di seluruh Amerika Serikat, dan mendapatkan hujan kritik dan demonstrasi dari Amerika bagian Selatan. Pengaruh buku ini begitu besar sehingga ketika bertemu dengan Harriet Beecher pada awal perang saudara Amerika, presiden Abraham Lincoln berkata padanya, “Jadi, inilah nyonya kecil yang membuat perang besar ini.” Novel ini laris, terjual hingga lebih dari 1 juta kopi. Inilah kerja-kerja riset, etos penelitian, kecimpung observasi.

Satu lagi buku yang besar pengaruhnya bagi dunia pendidikan internasional adalah Totto-Chan, buku anak-anak yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi yang terbit pada 1981 dan menjadi bestseller di Jepang. Novel ini membeberkan nilai pendidikan yang Kuroyanagi terima di Tomoe Gakuen, SD Negeri di Tokyo yang didirikan oleh pendidik hebat bernama Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II.

Alkisah, ibu dari Totto-chan mengetahui kabar bahwa putrinya dikeluarkan dari Sekolah Negeri itu lantaran terlalu kritis dan banyak bertanya. Ibu Totto-chan menyadari bahwa Totto-chan membutuhkan sekolah yang tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berkreasi. Sang Ibu lantas mengajak Totto-chan untuk bertemu Kepala Sekolah di sekolah yang baru, pak Kobayashi. Betul, pak Kobayashi dengan tekun mendengar keluhannya selama 4 jam, “Mulai besok, kamu murid di sekolah ini, Nak!”

Buku ini menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami Totto-chan selama belajar, persinggungan dengan teman-teman kelasnya, pelajaran-pelajaran yang dicernanya, serta atmosfer pendidikan yang mencerahkan dan memanusiakan manusia. Buku ini lantas, ditutup dengan peristiwa di mana Tomoe Gakuen terkena bom dari pesawat dan sekolah ini tidak pernah dibangun kembali. Peristiwa inilah yang mengakhiri tahun-tahun Totto-chan sebagai murid di Tomoe Gakuen. Buku yang sampai tahun 1980 ini terjual lebih dari 5 juta kopi ini telah diterjemahkan ke puluhan bahasa dunia. Inilah kerja-kerja riset, etos penelitian, kecimpung observasi.

Nah, di zaman gila medsos, mabuk agama dan kesurupan politik seperti sekarang ini, bahkan teks-teks anyir berlendir semacam hoaks dan ujaran kebencianpun bisa menggerakkan massa untuk memenangkan pemilu (Ke Pen di Prancis, Lutzbachman di Jerman, Great Wilders di Belanda, Jail Bolsonaro di Brazil, bahkna Trump) serta berbagai perang saudara, juga penggulingan rezim di Timur Tengah dan kawasan Teluk satu dekade terakhir.

Apapun yang terjadi, perjuangan tertinggi manusia adalah memenangkan akal sehatnya dari kesia-siaan pola pikir yang kerdil dan pola sikap nan jumud. Tidak perlu bakat untuk bekerja keras, sebab semua kemenangan berasal dari berani memulai. Ya, belajar sembari berjalan. Manakala Anda berhenti belajar, Anda berhenti memimpin, dan apabila Anda berhenti memimpin, Anda berhenti manjadi manusia. Agar tetap waras, membaca dan mendiskusikan teks (buku/kitab) harus dijadikan gaya hidup generasi milenial. Sesuatu yang telah sejak enam abad lalu hingga kini menjadi gaya hidup santri. Apa sebab?

Karena literasi bukan sekadar mambaca-menulis, ia juga upaya menganalisa bentuk teks, manafsir, merenangi lautan makna serta membangun pola pikir dan pola sikap, agar tetap seimbang di tengah laju peradaban. Inilah kerja-kerja riset, etos penelitian, kecimpung observasi.

Nyaris selalu, teratur dan kacaunya hidup manusia bermula dari program otomatis yang kita biasakan. Pendek kata, manusia adalah apa yang dibiasakannya. Itulah prilaku alam bawah sadar. Dan, manusia membentuk program itu sekian lama untuk kemudian mematenkannya menjadi karakter.

Orang yang tidak merubah pola pikir dan pola sikapnya, sejatinya ia tidak merubah apapun dalam hidupnya. Apa sebab? Hasil yang teratur dibuat oleh tata kelola manajerial, sementara itu perubahan yang efektif dicapai oleh kepemimpinan yang efektif pula. Pendek kata, perubahan pada “hasil” hanya mungkin terjadi dari perubahan “cara”. Tetapi, kemajuan yang efektif butuh pemantik, ia tidak mungkin berangkat dan membentuk dirinya sendiri.

Tidak ada bambu yang bisa melubangi dirinya sendiri untuk menjadi seruling, tidak ada bambu yang menyusun merekat diri mereka sendiri untuk menjadi rakit. Begitu pula manusia. Inilah kerja-kerja riset, etos penelitian, kecimpung observasi.

Jika ingin maju, ia harus membentuk A-TEAM (attitude team) yang mendukung dirinya untuk maju, lingkungan, teman, keluarga dan buku-buku yang membentuk kepribadian kita. Tak harus menunggu orang lain dan apalagi pemerintah untuk mengambil inisiasi dan gagasan cemerlang demi kejayaan Bangsa Negara, tak perlu ragu mengambil langkah-langkah besar, karena jurang yang dalam tak bisa kita lalui dengan langkah kecil.

Nah, terbuat dari apakah makhluk bernama kemajuan itu, sehingga setiap individu ingin menggapainya, bahkan tak jarang dengan menghalalkan segala cara? Merasa tidak puas adalah modal utama dan langkah pertama untuk sebuah kemajuan. Kabar baiknya, inilah watak dasariah manusia. Tidak ada seorang pun yang tidak menginginkan kemajuan dan kejayaan dalam hidupnya, dalam segala bidang. Inilah kerja-kerja riset, etos penelitian, kecimpung observasi. Sekali lagi, mari kita rebut perubahan bersama.

______
Penulis: Ach. Dhofir Zuhry- Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Pendiri Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi, penulis buku-buku best seller, di antaranya: Tersesat di Jalan yang Benar, Filsafat untuk Pemalas, Peradaban Sarung, Nabi Muhammad bukan Orang Arab? dan Kondom Gergaji

sumber : https://gubuktulis.com/merebut-perubahan/

Bawaslu Harus Lindungi Hak Politik Pekerja / Buruh

BAWASLU HARUS LINDUNGI HAK POLITIK PEKERJA/BURUH

Diskriminasi kepada pekerja/buruh untuk mengimplementasikan hak politiknya terus terjadi sepanjang masa tahapan Pemilu. Sejak dimulainya tahapan verifikasi partai politik, banyak terjadi kasus pekerja/buruh yang dilarang oleh instansi atau perusahaan tempatnya bekerja untuk menjadi pengurus, bahkan untuk sekedar menjadi anggota Partai Buruh.

Untuk para bos dan pemegang jabatan di level manajemen bisa dengan bebas berpartai, tetapi buruhnya dilarang berpolitik. Ancamannya selalu seragam: jika berpolitik akan dipecat atau kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang.

Bahkan sampai ada perusahaan yang melarang pekerjanya untuk membuat postingan yang terkait dengan partai politik di media sosial. Gerak-gerik pekerja diluar perusahaan pun dimata-matai.

Kondisi lebih parah terjadi di masa tahapan pencalonan. Banyak caleg Partai Buruh yang dipaksa cuti tanpa dibayarkan upahnya. Sebagian yang lain diminta mengundurkan diri setelah ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) oleh KPU.

Kasus yang paling ironis terjadi di Sulawesi Utara. Sebuah perusahaan BUMN secara sengaja menghambat kader Partai Buruh untuk ikut dalam pencalonan dengan cara tidak menerbitkan surat pemberhentian, sedangkan buruh bersangkutan sudah berulang kali mengajukan permohonan berhenti dari tempatnya bekerja. Akibatnya, KPU Sulut mencoret kader Partai Buruh dari DCT.

Kasus-kasus diatas sejatinya tidak akan terjadi jika Bawaslu menjalankan “fungsi pencegahan” dengan cara mengingatkan instansi dan perusahaan tentang hak politik para buruh. Sayangnya, Bawaslu hanya berdiam diri. Bahkan Bawaslu membenarkan tindakan pencoretan kader Partai Buruh dari DCT DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Padahal Bawaslu seharusnya justru berperan melindungi hak politik warga negara.

Sejak terbit Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003, tanggal 24 Februari 2004, dan dinyatakan kembali dalam banyak putusan yang lain, MK telah tegas menyatakan bahwa Hak konstitusional warga negara untuk berpolitik (political right), khususnya hak untuk dipilih (right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

Putusan Mahkamah tersebut antara lain didasari oleh adanya ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Kemudian ada pula Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juga menegaskan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga turut dijadikan landasan oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan alasan hukum diatas, maka Partai Buruh mendesak kepada Bawaslu untuk, pertama, menerbitkan himbauan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, maupun perusahaan swasta untuk tidak melakukan tindakan pelarangan, pengancaman, serta intimidasi kepada pekerja/buruh yang menjadi anggota, pengurus, termasuk menjadi calon anggota legislatif atau caleg. Bawaslu harus memberikan jaminan kebebasan berpolitik kepada para pekerja/buruh.

Kedua, Bawaslu RI harus mengambil alih kasus caleg DPRD Provinsi Sulawesi Utara asal Partai Buruh yang dicoret dari DCT melalui mekanisme Koreksi Putusan dengan cara membatalkan Putusan Bawaslu Sulawesi Utara, sebagaimana hal tersebut dibenarkan menurut ketentuan Pasal 85 Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.

Ketua Tim Khusus (Katimsus)/
Ketua Tim Kampanye Nasional
Partai Buruh

Tertanda,
Said Salahudin

Partai Buruh Menuju Negara Sejahtera, Tolak Omnybuslaw Cipta Kerja

Oleh Didi Suprijadi
( Aktifis Buruh)

Partai Buruh adalah partai global, partai yang hampir ada di setiap Negara . Partai Buruh di Indonesia mengusung Tema utama menuju Negara sejahtera. Hanya saja punya perbedaan sejarah berdirinya antara Partai Buruh di Indonesia dengan Partai Buruh di Dunia.

Di Eropa dan Benua lainnya Partai Buruh didirikan oleh para kelas pekerja, yang sengaja didirikan untuk mengimbangi kelas pemodal atau Kapitalis.

Ada dua prinsip yang berbeda antara kelompok Kapitalis dengan kelompok Kelas Pekerja. Kelompok Kapitalis berprinsip berjuang untuk mengumpulkan modal sebanyak banyaknya, sedangkan kaum Kelas Pekerja berprinsip mendistribusikan modal sebanyak banyaknya. Dengan demikian satu kelompok mengumpulkan modal, kelompok lainnya membagikan Modal.

Kapitalis di Dunia berjuang untuk mengumpulkan modal sebanyak banyaknya secara real dan tidak dibantu,tidak dilindungi oleh negaranya. Sedangkan kapitalis di Indonesia berjuang mengumpulkan modal dengan dibantu serta dilindungi oleh negara, oleh sebab itu kapitalis di Indonesia disebut olighargi. Pengumpulan modal olighargi di Indonesia pada umumnya di bantu dan dilindungi oleh Negara.

Partai Buruh di Indonesia di lahirkan kembali atas dasar akibat disyahkannya Undang undang Omnybuslaw nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta kerja oleh Pemerintah bersama DPR.

Undang-Undang Omnybuslaw Nomor 6 Tahun 2023 adalah Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Sebelum nya Undang Undang Omnybuslaw Cipta kerja nomor 11 tahun 2020 disyahkan oleh DPR RI tanggal 5 Oktober tahun 2020, tetapi digugat di Mahkamah Konstitusi ( MK ) oleh serikat pekerja KSPI. MK mengabulkan gugatan KSPI hingga Undang Undang yang dikenal dengan sebutan Omnybuslaw dinyatakan inkonsitusional .

Pemerintah tidak mau tinggal diam agar Undang Undang tersebut tetap berlaku,maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang ( PerPu) nomor 2 tahun 2022.

Akhirnya Undang undang yang awalnya bernama Undang Undang Kemudahan Investasi dan diusulkan oleh Pemerintah serta ditengarai akan menyengsarakan rakyat khususnya buruh disyahkan juga oleh DPR pada tanggal, 31 Maret 2023

Undang undang Omnybuslaw Cipta Kerja sangat jelas didukung oleh dua kekuatan besar yaitu Parlemen dan Pemerintah. Oleh sebab itu Partai Buruh yang sejak awal dilahirkan kembali anti Omnybuslaw Cipta Kerja maka akan berhadapan dengan kekuatan besar tersebut.

Partai Buruh di Negara lain hanya melawan partai partai kapitalis di Parlemen, Sedangkan Partai Buruh di Indonesia melawan partai partai politik pengusaha hitam dan oligarki dukungan Pemerintah.

Melalui Undang undang Omnybuslaw Cipta kerja Pemerintah yang didukung oligarki dan Parlemen yang didukung pengusaha hitam membela kaum pemodal serta condong untuk mengumpulkan modal, sedangkan Partai Buruh membela Kelas Pekerja dan condong membagikan Modal yang adil dan merata.

Oleh sebab itu Partai Buruh tetap menolak Undang Undang Omnybuslaw Cipta Kerja dan bertekad untuk membuat sejarah peradaban baru. Peradaban baru dimana praktek bernegara dengan menerapkan Pancasila secara konsisten dan konsekwen yaitu akan melakukan distribusi kekayaan,pembagian lahan serta kesempatan kerja seluas luasnya. Ketiga kegiatan utama tersebut wajib dilaksanakan sebagai amanat konstitusi sesuai sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

rumah honorer ayah didi
28 Desember 2023